Rabu, 21 Januari 2009

KERAJAAN MAJAPAHIT DI BAWAH PEMERINTAHAN HAYAM WURUK

A. Awal Pemerintahan Hayam Wuruk

Sepeninggal Sri Kertarajasa Jayawardhana, kekuasaan atas Majapahit diambil alih oleh Sri Jayanegara yang pada akhirnya meninggal karena terbunuh. Kekuasaan tertinggi seharusnya jatuh pada putri Kertanegara, Dyah Gayatri. Namun Gayatri telah menjadi pertapa, sehingga tahta kerajaan diwakili oleh putrinya, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani.
Pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada yang berkeinginan mempersatukan wilayah nusantara di bawah kekuasaan Majapahit, diangkat menjadi patih amangkubumi, yang memiliki jabatan tertinggi, setingkat di bawah raja. Pada akhir pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, Majapahit mulai menanamkan pengaruhnya di luar Jawa.
Setelah Gayatri meninggal, Tribhuwanatunggadewi menyerahkan kekuasaan kepada anaknya, Hayam Wuruk, yang kemudian bergelar Sri Rajasanegara. Hayam Wuruk menjadi raja Majapahit ke-4, memerintah selama 39 tahun, dari tahun 1350-1389, dengan didampingi oleh Gajah Mada.

B. Wilayah Kekuasaan dan Sistem Pemerintahan Majapahit

Di bawah pimpinan Hayam Wuruk serta didampingi Gajah Mada, Majapahit berusaha melebarkan sayap, melakukan ekspansi ke luar Jawa. Sedikit demi sedikit, Majapahit mengusai seluruh wilayah nusantara. Seperti dipaparkan dalam kitab Negarakertagama, daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Bahkan beberapa daerah di Asia Tenggara, seperti Semenanjung Melayu dan Filipina bagian Selatan.
Sebagai kerajaan yang besar, Majapahit memiliki sistem ketatanegaraan yang teratur. Raja Majapahit dan keraton dianggap sebagai pusat dunia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
· Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
· Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
· Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
· Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
· Daha
· Jagaraga
· Kabalan
· Kahuripan
· Keling
· Kelinggapura
· Kembang Jenar
· Matahun
· Pajang
· Singhapura
· Tanjungpura
· Tumapel
· Wengker
· Wirabumi

C. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Majapahit

Berita Cina yang ditulis oleh Ma-Huan sewaktu mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho ke Jawa memberi penjelasan mengenai keadaan masyarakat Majapahit. Antara lain bahwa kota Majapahit terletak di pedalaman Jawa. Istana Raja dikelilingi tembok tinggi lebih dari 3 zhang, pada salah satu sisinya terdapat pintu gerbang yang berat (mungkin terbuat dari logam). Tinggi atap bangunan antara 4-5 zhang, gentengnya terbuat dari papan kayu yang bercelah-celah (sirap). Raja Majapahit tinggal di istana, kadang-kadang tanpa mahkota, tetapi sering kali memakai mahkota yang terbuat dari emas dan berhias kembang emas. Raja memakai kain dan selendang tanpa alas kaki, dan kemanapun pergi selalu memakai satu atau dua bilah keris. Apabila raja keluar istana, biasanya menaiki gajah atau kereta yang ditarik lembu. Penduduk Majapahit berpenduduk sekitar 200-300 keluarga. Penduduk memakai kain dan baju, kaum lelaki berambut panjang dan terurai, sedangkan perempuannya bersanggul. Setiap anak laki-laki selalu membawa keris yang terbuat dari emas, cula badak atau gading. Bahasa penduduk pribumi itu sangat halus dan indah, dan mereka mengenal tulis menulis dengan daun kajang sebagai kertasnya dan pisau tajam sebagai pena.
Berita Cina juga menyatakan bahwa mereka duduk di rumahnya tanpa menggunakan bangku, tidur tampa ranjang, dan makan tanpa memakai sumpit. Sepanjang hari mereka senang memakan sirih, baik laki-laki maupun perempuan. Secara umum penduduk Majapahit menurut Ma-Huan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu orang-orang Islam yang datang dari barat dan mendapat mata pencaharian di ibukota; orang-orang Cina yang beragama Islam selaku niagawan tinggal di ibukota dan kota-kota pelabuhan; dan penduduk pribumi yang masih menyembah berhala dan gemar memelihara anjing.

D. Kehidupan Beragama Masyarakat Majapahit

Masyarakat Majapahit pada umumnya menganut agama Hindu dan Budha. Dalam agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Majapahit, masih terdapat aliran-aliran kepercayaan, seperti aliran Siwa.
Untuk melakukan upacara keagamaan, dibangunlah bangunan-bangunan suci. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirthan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan dan Jabung.
Disamping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan statusnya, bangunan-bangunan sucitersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat.
Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada 2 macam, yaitu:
1. Dharma-Dalm disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah Dharma-Haji ada 27 buah, diantaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2. Dharma-Lpas adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka.
Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti rsi, antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (sumberjati).
2. Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak mempunyai garbhagrha dan arca pendharmaan/perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Krtarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayanegara yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana ‘Kenyataan Tertinggi’ dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. ‘Kenyataan Tertinggi’ agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
· Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
· Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
· Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Selain agama Hindu dan Budha, menurut catatan yang ditulis oleh Ma Huan dari Cina, juga terdapat masyarakat yang menganut agama Islam, utamanya para pedagang di pelabuhan. Hal ini menunjukkan kompleksnya penduduk Majapahit pada masa itu.
Walaupun terdapat banyak aliran kepercayaan dalam masyarakat Majapahit, nyatanya hal tersebut tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bahkan Hayam Wuruk yang beragama Hindu dan Gajah Mada yang beragama Budha mampu membangun Majapahit yang besar dan kuat.

E. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Majapahit

Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi Kerajaan Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian dan pelayaran perdagangan.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah dan lain-lain, kecualai gandum. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsat dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak, antara lain burung beo, ayam mutiara (kalkun), burung nilam, merak, pipit, kelelawar dan hewan ternak seperti sapi, kambing, kuda, babi, ayam dan bebek, serta hewan langka monyet putih dan rusa putih.
Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan daerah Kalamasa dan Bendungan Trailokyapuri untuk mengairi daerah hilir.
Majapahit memiliki mata uang tersendiri yang bernama gobog, uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di tengahnya. Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Ukuran timbangan disebut sekati, sama dengan 20 tahil; setahil sama dengan 16 qian; 1 qian sama dengan 4 kubana.
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang pernah mengunjungi Jawa, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

F. Majapahit pada Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk

Akhir kejayaan Majapahit diawali dengan wafatnya Gajah Mada. Tak ada lagi tokoh Majapahit setangguh Gajah Mada. Terlebih lagi setelah Hayam Wuruk meninggal dunia. Majapahit kehilangan kedua tokoh besar. Terlebih, kekuatan Majapahit terletak pada kedua tokoh tersebut, bukan pada organisasi pemerintahan. Akibatnya, Majapahit mengalami kemunduran.
Pemimpin Majapahit selanjutnya tidak mampu menyamai keberhasilan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Muncul pembangkangan dan sengketa internal dalam keluarga kerajaan. Keadaan tersebut semakin memperlemah posisi Majapahit. Muncul wilayah-wilayah yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh Majapahit. Pada akhirnya, Majapahit benar-benar runtuh pada abad ke-16 akibat serangan pasukan Demak.

G. Peninggalan Sejarah Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit menghasilkan beberapa peninggalan sejarah. Beberapa di antaranya berupa bangunan, yang lainnya berbentuk kitab-kitb kuno.
Bangunan peninggalan Majapahit ada yang berupa candi, ada pula yang berupa pintu gerbang. Bangunan-bangunan tersebut menggunakan batu bata sebagai bahan penyusun. Batu bata tersebut disusun dan dilekatkan dengan memanfaatkan getah pohon anggur dan gula merah.
Bangunan yang merupakan peninggalan Majapahit antaralain:
· Gerbang Bajang Ratu di Trowulan
· Wringin Lawang di Trowulan,
· Candi Penataran di Blitar,
· Candi Sumberawan,
· Candi Sawentar,
· Candi Sumberjati,
· Candi Tikus.
Selain candi, terdapat pula kitab-kitab kuno, yang sebagian tidak diketahui pengarangnya. Kitab tersebut bias berupa kisah, catatan, laporan, atau mitologi. Kitab-kitab ini biasa ditulis pada lembaran lontar yang diikat dengan semacam tali. Kitab-kitab tersebut tidak berupa kalimat langsung, melainkan rangkaian puisi dalam sejumlah bait, yang disebut kakawin.
Kitab-kitab yang merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit, antaralain:
· Kitab Negarakertagama, karya Mpu Prapanca
· Kitab Sutasoma, karya Mpu Tantular,
· Kitab Pararaton, yang menceritakan riwayat raja-raja Singosari dan Majapahit,
· Kitab Sundayanan, menceritakan peristiwa Bubat,
· Kitab Ranggalawe, menceritakan pemberontakan Ranggalawe,
· Kitab Sorandaka, menceritakan pemberontakan Sora,
· Kitab Usana Jawa, menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.

7 komentar: